Pengikut

Kodok Pohon Di Pinggir Jalan

| on
November 05, 2015
[Jalan-Jalan]: Beberapa hari yang lalu, ketika sedang berjalan-jalan memutari jalan kecil yang ada di sekitar rumahku, aku nyaris saja menginjak seekor kodok. 
Nyaris karena, bentuk kodok itu kecil sekali. Hanya sebesar jempol kaki seorang bapak-bapak yang punya anak 3 orang (eh? Emang ngaruh jumlah anak dengan kondisi bentuk jempol seseorang? xixixi). 


Brrr... jika saja aku menginjak kodok tersebut.
Eh.
Hehehe... jadi ingat sebuah kisah lucu.
Jadi, ceritanya ada seorang mahasiswi. Dia berencana untuk mendaki sebuah gunung. Ketika akan memulai pendakian, dia didatangi oleh seorang lelaki tua yang bungkuk punggungnya.

"Nak... jika kamu akan mendaki gunung ini, kamu harus berhati-hati. Di gunung ini banyak sekali terdapat kodok."
"Oh... memangnya kenapa kek?"
"Iya. Kamu harus hati-hati agar jangan sampai menginjak kodok tersebut. Pokoknya, jangan sampai deh kamu menginjak kodok tersebut. Duh. hati-hati ya nak."

Si Kakek tua itu terlihat begitu khawatir dan sengsara mengatakan hal itu. Tentu saja si mahasiswi tersebut malah jadi Kepo. Penasaran, memangnya kenapa sih kalau nginjek?

"Kek... memangnya kenapa jika kita sampai menginjak kodok tersebut?"
Si kakek tampak mundur beberapa langkah mendengar pertanyaan si mahasiswi tersebut. Wajahnya kian terlihat tertekan. Setelah melakukan olah nafas panjang beberapa kali sekedar seperti sedang meyakinkan diri sendiri bahwa pilihan untuk mengatakan yang sebenarnya adalah yang terbaik; si kakek mendekati si mahasiswi. Wajahnya tampak tegang dan suara yang keluar dari mulutnya pun terlihat gemetar.

"Karena nak... jika kamu sampai menginjak kodok tersebut, kamu akan mendapatkan jodoh yang jelek banget. Jika sudah begitu, maka setiap waktu yang kamu lalui terasa begitu menyiksa sehingga kamu ingin menyegerakan hari agar segera berganti saja, setiap hari."

"Oh... sebegitu burukkah?" Si Kakek mengangguk lesu. Pandangannya tertunduk menatap ke tanah. Lalu, sambil menghela nafas, si kakek bertanya pada si mahasiswi.
"Kamu pikir, berapa usiaku sehingga kamu memanggilku kakek, nak?"
"Berapa usia kakek?"
"Baru 30 tahun.  5 tahun lalu aku menginjak seekor kodok di gunung ini, dan tidak lama kemudian aku pun menikah. Lalu, semua fisikku berubah seperti sekarang karena ....." Si kakek tidak meneruskan ucapannya... dia berlalu meninggalkan si mahasiswi dengan langkah seperti sedang melamun.

Fiuh.
Akhirnya, si mahasiswi inipun super ekstra hati-hati ketika mendaki gunung. Rasanya, seluruh tubuhnya kini memiliki mata. Hasilnya, tidak seekor kodokpun dia injak.
HOREEE...

Setelah itu dia pulang ke rumah. 
Beberapa hari kemudian, dia berkenalan dengan seorang Pria yang ganteng banget. Ganteng, pintar, punya pekerjaan mapan, penuh kasih sayang, badannya six pack. Beberapa bulan kemudian, si mahasiswi ini menikah dengan pria tersebut.

Ketika bulan madu, sambil bermanja-manja di lengan suaminya yang kekar, si mahasiswi bercerita bahwa dia bersyukur ketika mendaki gunung dahulu tidak menginjak seekor kodok.  Suaminya hanya menunduk lesu dan terlihat tidak bersemangat mendengar cerita istrinya.

"Kamu tahu kan, mas, gunung yang aku ceritakan itu?"
"Iya, aku tahu. Dulu aku juga pernah kesana."
"Oh ya... terus... terus...."
"Aku nginjek seekor kodok."

Tuh... itu  ceritanya.
Di jalan kecil dekat rumah tempatku menemukan kodok, aku ingat cerita itu. Dan bersyukur tidak menginjak kodok ini. 
Eh... bukan karena aku takut dengan kutukan injak kodok loh. Tapi, lebih karena aku kasihan saja melihat kodok tersasar ini.
Di rumah, aku memperlihatkan pada suamiku foto kodok yang hampir saja aku injak jika aku tidak hati-hati melangkah.
"Kamu tahu nggak ini kodok apa?"
"Nggak tahu."
Akhirnya, aku gugling dan mendapat jawaban bahwa ini adalah jenis kodok pohon. 
Seperti ini nih kodoknya. 


Dari Wikipedia, dikatakan bahwa kodok ini memang berubah warna ketika siang. Yaitu menjadi menyerupai warna tanah atau tempatnya berpijak. Tapi bukan berarti dia seperti jenis bunglon gitu. Perubahan warna ini adalah reaksi dari terpaan sinar matahari yagn menimpa tubuhnya. Karena, secara nature, kodok tidak tahan sinar matahari yang terlampau terik. Spesies ini memang hidup di pohon-pohon biasanya. Atau dekat saluran air.

Terus kenapa kodok ini jalan-jalan? Karena 2 hal:
1. Dia secara instingtif merasa  tempat tinggalnya mulai kekeringan.
2. Dia secara instingtif merasa bahwa ada tempat lain yang mengandung air.

Dengan kata lain, keberadaan kodok itu berguna untuk menandai tempat yang ada airnya atau yang tidak ada airnya. Itu sebabnya aku begitu khawatir takut menginjak makhluk kecil yang satu ini. Karena dia adalah makhluk yang memiliki kemampuan yang istimewa.
5 komentar on "Kodok Pohon Di Pinggir Jalan"
  1. Baru tahu ada cerita tentang injak kodok ini, mbak. Hihihi...
    Apa saya pernah injak kodok po ya? Hahahaha...

    BalasHapus
  2. familar dengan cerita injak kodok terus dapat jodoh yang jelek...hihi
    bener juga yaach, kodok sebagai penanda adanya air, di rumah saya keseringan melihatnya di dekat2 saluran air

    BalasHapus
  3. Eh, aku juga pernah lihat kodok sekecil ini! Iya keciiiiiil banget. Sampe gak tega liatnya. Kukira anak kodok, ternyata emang jenis kodoknya begitu ya? Baru tahu deh sekarang.

    BalasHapus