Pengikut

Pucuk-pucuk Daun

| on
April 09, 2016
[Jalan-jalan] Ayo jalan-jalan ke daerah tempatku waktu masih kecil dulu. Jika aku membawa kalian ke sana hari ini, yang terlihat adalah deretan apartemen tinggi menjulang dan mall. Atau perumahan mewah milik kelompok elite tertentu. Padahal, dulu tempat-tempat elite ini adalah sebuah perkebunan karet yang luas sekali.

Tidak terbayang kan bahwa di kota Jakarta dulu ada perkebunan karet yang luas? Jadi, perkebunan karet yang telah membuat bermuncullan kelas menengah baru di Sumatra dan Kalimantan itu, sebenarnya pernah ada di dekat rumahku di Jakarta Selatan. Perkebunan inilah yang menyanggah kebutuhan karet dari pabrik sepatu karet BATA selama bertahun-tahun. Hingga sekarang, stasiun kereta api dan wilayah di bekas pabrik sepatu BATA itu berdiri tetap diberi nama stasiun Kalibata.


Daerah rumahku tempo dulu itu asri sekali. Daerah Pengadegan di era tahun 80-an. Era ketika aku melewati usia belasan tahun. Dulu, masih ada perkebunan karet yang dimiliki oleh pabrik sepatu BATA. Pabrik sepatu BATA, dulu ada di wilayah Pengadegan Timur dan Duren Tiga. Jadi, bersebelahan dengan Taman Makam Kalibata. Lebih tepatnya, apartemen Kalibata City sekarang itu sebenarnya dulu adalah areal pabrik sepatu BATA.

Dipisahkan oleh jalan raya, di seberang Pabrik BATA terbentang areal perkebunan Karet yang amat luas. Luas sekali, menempati seluruh wilayah yang sekarang ditempati oleh perumahan kompleks DPR Kalibata. Tempatku bersekolah di Sekolah Dasar Pengadegan 05, tepat di depan Perkebunan Karet paling ujung sebelah timur.

Itu sebabnya setiap pergi dan pulang sekolah, aku berjalan melewati areal perkebunan karet.

seperti ini yang namanya perkebunan karet yang aku lewati itu (credit foto: http://blogs.unpad.ac.id/restiredita056/category/on-farm/).
Jika malam, perkebunan karet itu gelap gulita. Hanya ada 2 ruas jalan yang dibuka di tengah perkebunan, yaitu ruas jalan menuju stasiun Kereta Api Kalibata dan ruas jalan menuju pabrik sepatu Bata. Di antara batang pohon karet, digantung lampu bohlam a la kadarnya yang dilindungi lempengan besi berbentuk kerucut seperti topi pak tani.

Jika terpaksa sekali, jarang ada yang malam-malam lewat ruas jalan yang menuju ke pabrik sepatu bata. Tidak heran jika jalan itu selalu sepi dan temaram di malam hari. Kebalikannya dengan ruas jalan menuju stasiun kereta api Kalibata.

Sekolah dasarku juga demikian. Jika sudah bubar sekolah, maka suasananya langsung senyap. Perumahan penduduk berada di belakang sekolah. Bukan di depan sekolah. Jadi, di depan sekolah tetap hamparan perkebuan karet.

Di awal tahun 1980, aku duduk di kelas 4 SD. Temanku mulai banyak (hehehe, kelas 1 dan 2 aku masih sedikit temannya karena tidak pandai bergaul). Jadilah kami mulai melakukan aneka permainan masa kecil yang asyik-asyik.



Ada galasin, bola gebok, petak umpet, kasti, dan sebagainya. Di ujung perkebunan karet, memang ada tanah lapang yang cukup besar. Tanah lapang ini terbentuk akibat areal bibir sungai Ciliwung yang mengalami longsor. Lalu, tanah di bekas longsor itu terus diambil orang hingga akhirnya terbentuklah tanah lapanga yang luas. Disinilah areal bermain aku dan teman-temanku. Letaknya tepat di seberang sekolah.

Waktu SD, tugas membersihkan sekolah itu menjadi kewajiban murid-murid. Bukan kewajiban petugas kebersihan sekolah. Petugas kebersihan sekolah hanya bertugas membersihkan WC saja.

Dengan demikian, setiap pagi, murid yang sudah dibagi dalam kelompok piket harus datang lebih pagi daripada anak-anak yang lain. Tugasnya adalah mengangkat semua bangku ke atas meja, lalu menyapu lantainya, dan terakhir mengepelnya dengan kain pel. Lalu papan tulis dibersihkan juga, dan meja guru diganti tamplaknya.

Karena tugas piket itu, maka kunci lemari kelas dimana di dalamnya ada kain pel, sapu, taplak meja dan sebagainya dibawa oleh murid yang kebagian piket kelas. Suatu hari, tugas membawa kunci itu jatuh ke tanganku.

Karena saat itu ada ulangan, maka tugas yang biasa dikerjakan pagi-pagi oleh kelompok piketku dikerjakan pulang sekolah. Maksud kami, agar besok pagi tidak perlu susah payah membersihkan kelas. Jadi, waktu datang ke sekolah bisa diisi dengan membaca materi yang akan ditest (dulu kami menyebutnya: testing).

Sayangnya, aku pelupa. Sehingga, ketika bel berbunyi, pintu lemari kelas tidak bisa dibuka karena kunci lemarinya tertinggal di rumah. Rumahku cukup jauh pula. Akhirnya, guru memerintahkan aku dan beberapa petugas piket hari itu untuk datang ke rumah penjaga sekolah yang ada di belakang sekolah. Penjaga sekolah punya kunci serep untuk semua lemari kelas di sekolahku.

Kami pun berjalan keluar dari pagar sekolah. Berjalan menelurusi kebun karet, lalu berbelok ke arah belakang sekolah. Setelah mengambil kunci, seorang teman mengajakku untuk bersembunyi agar teman yang disuruh bicara dengan penjaga sekolah kebingungan mencari kami. Kami bersembunyi di bawah akar pohon beringin yang tinggi hingga mencuat ke atas membentuk serupa dinding.

Aku bersandar di akar pohon yang tinggi itu. Rapat-rapat menipiskan badan berharap agar tidak terlihat. Sambil berdebar menunggu teman yang terlihat kebingungan dan mulai berteriak-teriak memanggilku.

Saat itulah aku tanpa sengaja melihat ke arah langit. Pucuk-pucuk daun pohon karet terlihat melambai-lambai tertiup angin. Dan di atas pucuk-pucuk pohon karet tertinggi.... aku melihat kuntilanak.

Wanita semampai dengan rambut hitam yang panjang terurai.
Tangannya terangkat ke atas. Lebih seperti sedang menari dengan kedua tangan terangkat ke samping. Melambai-lambai seperti orang-orangan sawah.

"De... Ayo kit ake sekolahan lagi."
"Sebentar. Itu... perempuan itu mau ngapain?"

Tanganku terulur menunjuk ke arah pucuk-pucuk daun pohon karet. Tempat perempuan itu berdiri terayun-ayun di pucuk tertinggi pohon karet.
Teman-temanku mengikuti arah telunjukku.

"Nggak ada siapa-siapa."
"Ada. Itu...."
"Dimana sih? Nggak ada apa-apa di atas pepohonan karet itu."
"Itu....Oh... Ya ampun, perempuan itu melihat ke arah kita."

Aku menunduk. Rasa menggigil tiba-tiba menyergapku. Rasanya dingin sekali. Dan seluruh organ dalam tubuhku terasa membeku. Sesak. Sempit. Kaku.
Rasa takut segera menyergap tiba-tiba.

Tatapan perempuan itu.
Ya Tuhan.
Perempuan itu tidak memliki BOLA MATA sama sekali.
Matanya bolong tapi dia menatap seakan-akan bisa menatap dan itu tajam serta menusuk sekali rasanya.

"Ayo pergi."
Aku segera berdiri dan bersembunyi di balik tubuh temanku yang paling besar badannya. Meski demikian, aku merasa tatapan perempuan itu terus mengikutiku.
Bulu kudukku meremang.
Takut.
Takut sekali.
Ya Tuhan. Siapa perempuan itu?

"Ade... apa kamu baru saja melihat kuntilanak yang ada di atas pohon karet?" Temanku segera menyadarai sesuatu. Aku sudah tidak bisa bicara. Lidahku kelu dan keringat dingin keluar satu satu.
Perlahan, temanku langsung menggandeng tanganku dan mengajakku bergegas pergi meninggalkan tempat kami berdiri. Kembali ke sekolah.

"Jalan saja. Tidak usah menengok." Aku berbisik dengan suara gemetar. Bahkan meski aku tidak menengok, aku masih merasa bahwa perempuan itu masih menatapku dengan rekat.

Hari itu, adalah hari paling menakutkan buatku. Untuk pertama kalinya aku bertemu dengan seorang kuntilanak.
Ugh.... Yes. I can ses a ghost, sometime.
And I really hate this fact.


7 komentar on "Pucuk-pucuk Daun"
  1. Hiiii...ngeri kali mbak Ade..., aku alhamdulillah *duh jangan sampe liat hantu dan sebangsanya, tapi kalo ngerasain pernah. yang bisa liat malah anak-anakku..dan mereka malah nggak takut ya :D

    BalasHapus
  2. Yang bisa melihat cuma mb Ade doang ya? hiiiyyy sereem.
    Smoga nggak pernah melihat kuntilanak dan teman-temannya :D

    BalasHapus
  3. Ya ampyun...baca siang2 udh ikut deg2an.
    Gimana baca malam...hiii
    ..
    Untung ga disusul mpe sekolah ya mbak ...sereeem

    BalasHapus
  4. Ya ampun, Mbak Ade. Siang begini aja aku sudah sesak napas bacanya. :(

    BalasHapus
  5. Jadi kuntilanak itu ga hanya di film? padahal siang ya Mbak? hii.. serem..

    BalasHapus
  6. Duh horor pulak ini, Maaakk

    BalasHapus
  7. Lagi gak mau baca yg serem2 hehe. Baru tau mbak ade ada blog satu lagi

    BalasHapus