Pengikut

CLBK di Pinggir Sungai Musi

| on
Mei 16, 2016
[Jalan-jalan] Ada yang belum tahu tentang Sungai Musi-kah? Wikipedia Indonesia mencatat keterangan tentang Sungai Musi ini sebagai berikut:

Sungai Musi adalah sebuah sungai yang terletak di provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Dengan panjang 750 km, sungai ini merupakan yang terpanjang di pulau Sumatera dan membelah Kota Palembang menjadi dua bagian. Jembatan Ampera yang menjadi ikonKota Palembang pun melintas di atas sungai ini. Sejak zaman Kerajaan Sriwijaya hingga sekarang, sungai ini terkenal sebagai sarana transportasi utama bagi masyarakat.
Dan aku, lahir dari orang tua yang berasal dari pinggiran dusun yang ada di pinggir Sungai Musi. Aku punya kenangan tersendiri tentang Sungai Musi ini. Dan ini ceritaku:




Ayahku berasal dari dusun di Bumi Ayu. Masih masuk wilayah kabupaten Sekayu. Ketika masih kecil dahulu, pulang kampung ke dusun Bumi Ayu adalah saat-saat yang aku tunggu.
Kenapa?
Karena itu berarti aku akan memasuki suasana yang benar-benar jauh berbeda dengan kondisi kota Jakarta tempatku tinggal saat itu (dan kini).

Di Bumi Ayu saat itu, belum ada kamar mandi. Semua orang melakukan aktifitas CLBK di sungai.

CLBK di Pinggir Sungai Musi.

Hah? Maksud lo CLBK di pinggir sungai musi apa?
Sebentar. Jangan mikir yang nggak-nggak dulu.
CLBK disini bukan berarti Cinta Lama Bersemi Kembali. Tapi, Cuci (bahan makanan)  Lalu (mandi) Bilas (pakaian) Kakus.

Iya benar. Karena air di Sungai Musi ini memang digunakan sebagai berbagai macam aktifitas warga di sepanjang pinggiran sungai.

Jadi, jika ingin memasak,ambil seember air  dari sungai musi, bawa ke dapur dan air ini yang akan digunakan untuk memasak. Eits... jangan merasa jijik dulu. Orang-orang dusun Bumiayu itu memiliki otak yang cerdas secara alami. Mereka tahu bahwa memakai air sungai yang kotor untuk dikonsumsi secara langsung itu tidak bagus untuk kesehatan.

Karenanya, mereka melakukan proses penyaringan air sungai secara sederhana. Yaitu dengan menampung air sungai dalam sebuah bak penampungan yang terbuat dari batu buatan.

Kenapa disebut batu buatan? Karena sebenarnya, lapisan batu yang dimaksud itu terbuat dari olahan beberapa kerikil, sabut, pasir dan tanah yang dipadatkan dalam sebuah karung dan dibentuk berbentuk tabung dengan bagian terbuka di sebelah atas. Mirip ember, tapi ini tebal sekali. Seperti batu tapi ringan hingga bisa digantung.

credit foto: http://nanosmartfilter.com/tag/teknik-penyaringan-air/
Dulu, di rumah nenekku ada semacam kendi dari batu yang selalu meneteskan air bening dan tidak berbau di dapurnya. Gentong batu yang digantung dengan kawat yang dikaitkan di palang kayu yang ada di langit-langit rumah panggung. Air yang menetes itu ditampung dalam ember. Memang lama untuk bisa mendapatkan seember air. Itu sebabnya acara memasak dilakukan tidak bisa sepanjang hari seperti sebuah kegiatan katering. Dan harus hemat air juga sih. Ya, efesien deh penggunaan air bersihnya.

Sedangkan kegiatan mandi dan mencuci pakaian atau piring kotor, dilakukan langsung di pinggir sungai Musi.

Jadi, di atas Sungai Musi tersebut, dibangun sebuah panggung terapung yang terbuat dari batang-batang kayu gelondongan yang diikat dengan tali tambang. Lalu gelondongan kayu ini ditaruh di atas drum kosong yang tertutup rapat (tidak bocor). Drum ini iikat dengan susunan kayu gelondongan yang menyatu dan diperlakukan seperti sebuah pelampung.

Atau bisa juga ditancapkan sebuah batang kayu yang cukup panjang di dasar pinggiran sungai. Lalu, di ikatlah bilahan papah-papan yang sudah disusun menyerupai lantai yang cukup lebar untuk berdiri dan duduk beberapa orang.

Nah, panggung gelondongan kayu ini disebut "batang" dan di atas batang inilah orang-orang melakukan kegiatan bilas baju, bilas pakaian dan bilas peralatan makan/minum.

Jika ingin mandi, mereka berenang di sungai. Nanti jika ingin menyabuni tubuh, barulah mereka duduk di atas batang dan menyabuni tubuh atau memberi shampoo pada rambut. Lalu berenang lagi untuk membersihkan semua busa-busanya.

Hal-hal ini, tidak aku temui dalam keseharianku di kota Jakarta. Itu sebabnya terasa begitu "eksotik" dan "unik". Dan menjadikan kegiatan berlibur dalam rangka pulang kampung menjadi sesuatu yang aku tunggu-tunggu ketika aku masih  kecil.

Batang yang kami duduki terombang-ambing karena ada kapal besar pengangkut karet itu luar biasa rasanya. Seperti duduk di atas buritan kapal laut tapi dengan kedua kaki yang tercelup ke dalam sungai Musi.

Sabun batangan yang terlepas dari genggaman tangan ketika menyabuni tubuh lalu hilang tenggelam ke dalam sungai itu seru. Seperti kehilangan ikan yang baru saja berhasil ditangkap dengan susah payah.

Dan rasa terkejut ketika melihat "si kuning mengambang" melintas di depan pandangan mata ketika sedang menyabuni tubuh itu asli luar biasa. hahahaha.... Sibuk menyelamatkan kedua kaki sekaligus ingin mengusir si kuning agar pergi menjauh.

Ya. WC di pinggir sungai memang letaknya biasanya lebih ke tengah sungai karena semakin ke tengah Sungai Musi, aliran sungai semakin menderas. Tapi, karena sering ada perahu besar pengangkut karet rakyat yang melintas di tengah sungai, maka ombak telah mengirim si kuning yang sedang melayang mengikuti aliran deras air sungai terdorong ke pinggir sungai. Itu sebabnya kami harus mengusirnya jauh-jauh ke tengah sungai lagi.

Itulah dusunku, Bumi Ayu, yang terletak di pinggir Sungai Musi.


A photo posted by Ade Anita (@adeanita4) on

A photo posted by Ade Anita (@adeanita4) on
Be First to Post Comment !
Posting Komentar