Pengikut

Mencicipi Wedang Ronde Pasar Klewer

| on
November 28, 2017
[Icip-icip] Hawna putri bungsuku, pengalaman kuliner nusantaranya belum banyak. Hal ini karena lidahnya yang tidak terbiasa mengecap aroma pedas sejak kecil. Di rumah, memang hanya aku saja yang senang makanan pedas. Suamiku dulu senang, tapi sejak ada masalah dengan lambungnya maka dia menghindari makanan pedas atau berbumbu kuat. Karena hanya aku saja yang doyan pedas padahal harga cabe lumayan mahal, akibatnya menu masakan yang aku buat sehari-haripun amat sangat jarang yang pedas atau beraroma bumbu yang kuat.





Di rumah aku lebih senang memasak makanan Chinese Food. Bumbunya amat sederhana, cukup bawang putih, garam, merica. Tidak ada yang lain. Mengolahnya juga cepat. Nanti tinggal personil lauknya saja yang divariasikan. Sebagai selingan aku beberapa kali memasak masakan Indonesia tapi dengan penyesuaian lidah khas keluargaku yang tidak kuat pedas. Jadi, yang namanya gulai di rumahku itu dijamin tidak pedas sama sekali. Yang namanya bumbu rujak atau bumbu bali, mungkin agak pucat warnanya karena memang keberadaan cabenya dihilangkan (padahal justru cabelah yang membuat warna bumbu masakan Indonesia menjadi meriah). Kelanjutan dari efek pola masakan rumahku adalah: kami semua tidak terlalu tahan dengan masakan pedas atau berbumbu kuat. Pedas disini bukan hanya pedas yang ditimbulkan oleh cabe tapi juga oleh jahe.

Nah, hari pertama liburan di Yogyakarta, setelah makan siang, shalat, istirahat bongkar koper, jalan-jalan sebentar di Ambarukmo Plaza, mampir di butik batik Soga yang ada di dekat Hotel Paku Mas untuk membeli kain batik, pukul lima sore kami beranjak naik taksi ke arah Malioboro. Taksi pertama menolak karena menurut mereka jalan ke Malioboro itu macet. Taksi APV berikutnya barulah bersedia. Sistem Argo berlaku di taksi besar ukuran mobil Zenia ini. Lumayan kan. Lalu, kami tiba setelah azan maghrib berkumandang.

Wah. Jadilah kami memutuskan untuk shalat maghrib dulu di masjid yang ada di samping Pasar Beringhardjo. Selesai shalat maghrib, suamiku mengajak untuk jajan Wedang Ronde. Sebelumnya, anak bungsuku, Hawna belum pernah tahu apa itu wedang ronde.

"Aku berdua ibu deh. Pedas ya?" (hawna mulai ragu)
"Nggak terlalu. Enak kok, jadi bikin anget perut. Ada manisnya juga selain rasa pedasnya." (aku berusaha meyakinkan Hawna. Jadilah karena dia tetap ragu maka aku dan dia makan satu mangkuk berdua. Hawna belum yakin bisa menghabiskan satu mangkuk sendiri padahal makanan sisa itu kan mubazir ya.. hehehe)

Lalu, aku mulai menyuapi dia Wedang ROnde. Butir sagu sebesar kelereng yang berisi gula merah dan kacang tumbuk itu dia suka sekali.
"Nah, yang kamu suka itu namanya Ronde."
"Enak ya bu. Gak pedas. Manis."
"Iya, tapi airnya juga gak pedas kan. Tapi malah bikin anget perut. Iya gak?"
"Iya, aku suka."

Alhamdulillah.
"Nah, kalo ronde itu bulet-bulet warna putihnya, terus wedang itu yang mana?" (hawna mulai mengamati isi mangkuk wedang rondenya. Di dalam mangkuk itu selain kuah jahe manis, juga terdapat ronde, kacang tanah, potongan roti, dan potongan kolang kaling. Perbedaan Wedang Ronde dengan Sekoteng di Jawa Barat terletak pada personil di dalamnya. Pada sekoteng masih ada tambahan lagi yaitu kacang hijau dan potongan jahe kecil yang garing serta susu kental manis. Wedang Ronde tidak memakai susu kental manis).

"Wedang itu artinya air minuman. Jadi, Wedang Ronde itu artinya minuman yang disajikan dengan Ronde di dalamnya. Begitu." (akhirnya suamiku menjelaskan pada putri bungsuku itu tentang arti wedang ronde. Kelak, sepanjang liburan kali ini suamiku memang akhirnya juga bertindak sebagai guide yang seksi (*oke, seksinya dicoret, ini pendapat pribadiku hehehe). Dia selalu sigap menjelaskan segala sesuatu tentang Yogyakarta)

Dan inilah kami yang sedang menikmati wedang Ronde di depan masjid.





Sudah pernah mencoba Wedang Rondekah? Cobain deh .. enak.



Bersambung ke cerita selanjutnya deh

=======================
penulis: ade anita
1 komentar on "Mencicipi Wedang Ronde Pasar Klewer"